Minggu, 20 Januari 2008

Tugas terakhir...euy!

FEMINISME EMANSIPATORI DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Perspektif Kesetaraan Gender

Gerakan feminisme muncul dalam wahana apapun oleh karena rasa ketidakadilan terjadi subordinas, superioritas of maskulin dan ketidaksebandingan. Caknur dalam mengomentari persoalan tersebut mengatakan bahwa pertama, kemunculan masalah wanita itu adalah absah, otentik, dan sejati. Artinya benar-benar timbul dari keinginan yang murni, kedua, merupakan reaksi, keumculan masalah wanita dikalangan umat Islam itu terasa bersifat emosional, apologetik, ideolofis, dan tak jarang objektif.

Problematika gender atau lebih lazim dikenal dengan gerakan feminisme, sebenarnya merupakan upaya untuk mengangkat posisi wanita dan menutupi seminimal mungkinkesenjangan antar masyarakat maskulin dan feminim baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi, maupun pendidikan.

Karena itu, seiring dengan perbedaan latar masalah dan problematika bahwa gerakan perempuan (women movement) yang telah berkubang menjadi banyak aliran muncul akibat adanya ketidakadilan, penindasan, dan eksploitasi terhadap perempuan. Sekalipun timbul perbedaan pandangan mengenai apa, mengapa, dan bagaimana penindasan eksploitasi itu terjadi, tetapi memiliki kesamaan pandangan bahwa hakikat perjuang perempuan adalah demi tegaknya kesamaan, egality, dignity, dan kebebasan dalam relasi kehidupan antara laki-laki dan perempuan.

REFLEKSI PEMIKIRAN PENDIDIKAN R.A. KARTINI

Gerakan feminisme merupakan gerakan yang selalu marak dan tak pernah selesai diperjuangkan sekaligus selalu menarik untuk diperbincangkan, diperdebatkan dan didiskusikan. Pro dan kontra terhadap ide gerakan feminisme senantiasa hangat dibicarakan dari berbagai sudut pandang, baik teologis, sosiologis, hukum, politik kekuasaan dan bahkan pendidikan.

Nilai feminisme yang diperjuangkan oleh kaum hawa adalah memposisikan pada proporsinya. Hal ini didasarkan pada misalnya, ajaran Al-quran yang diturunkan ke dunia sebagai instruksi teologis bagi pembebasan manusia dari berbagai bentuk diskriminasi dan penindasan, baik seksual, etnis maupun ikatan-ikatan primordial lainnya.

Sejarah perjuangan feminisme barangkali bisa dirunut kepada apa yang pernah diteriakkan oleh wanita-wanita Prancis sejak abad ke-18 M. Dilanjutkan oleh kaum feminis Amerika yang dikenal dengan emansipasi, yakni gerakan wanita yang menuntut adanya hak yang sama antara laki-laki dan perempuan. Setidaknya didalam gerakan itu tercipta adanya keseimbangan yang sepadan antara kedua jenis makhluk Tuhan itu, laki-laki dan perempuan.

Ada banyak sebab terjadinya diskriminasi terhadap perempuan, baik bersifat teologis, filosofis, Kultural seperti masih kenalnya budaya patriarkhi yang menyelimuti seluruh lapisan masyarakat. Kondisi dominan budaya patriarkhi kiranya merupakan sebab utama terjadi diskriminasi, baik di dalam sektor domestik maupun sosial-politik sekalipun masih banyak kaum perempuan dengan sengaja merasa “mesra” dengan budaya patriarkhi.

Seperti kegelisahan feminis dunia, kartini adalah seorang perempuan Jawa yang senantiasa “gelisah” berada didalam “kerangkeng” budaya patriarkhi kaum priyayi. Lewat surat-suratnya, kartini mencoba mendiskusikan segenap gejolak batin yang lahir dari denyut feminisme kepada sahabat-sahabatnya di luar negeri, terutama orang-orang Belanda. Semangat untuk menghembuskan angin emansipasi dikalangan perempuan Jawa tak pernah pupus darinya. Melalui dunia pendidikan Kartini menaruh harapan untuk kemajuan kaum perempuan. Untuk merombak kultur feudal-patriarkhal yang selama berabad-abad membelenggu kaum perempuan, dimana kaum hawa hanya dibatasi pada sektor domestik, antara dapur, sumur dan kasur – Kartini berusaha “menyuntik”-nya dengan pendidikan, bahwa kaum perempuan berhak memperoleh pendidikan yang sama dengan kaum laki-laki. Kartini percaya dengan pendidikan kaum perempuan bisa dengan cepat dapat tercerahkan dan “jendela” masa depan yang lebih baik akan terbuka.

Cukup berat beban yang harus dipikul Kartini pada saat-saat awal proses merintis cita-citanya. Dia harus berhadapan dengan berbagai kritik dan penentangan, bahwa apa yang dilakukan Kartini sudah keluar dari dan bertentangan dengan budaya Jawa. Gairah emansipasi dan feminis Kartini lewat surat-suratnya, membawa membaca masuk ke dunia perjuangan batin seorang perempuan pemberani yang berbeda dengan logika kebanyakan. Dia berusaha keras mengadakan lompatan pemikiran yang cukup tinggi untuk keluar dari “pingitan” budaya patriarkhi, khususnya dibidang pendidikan. Salah satu suratnya kepada pemerintahan Hindia Belanda, “berilah orang Jawa pendidikan” menunjukkan concern Kartini yang cukup tinggi terhadap pendidikan. Karena bagi kartini, seorang anak tidak hanya asal hidup sembarang hidup, melainkan ia berhak hidup layak, berpendidikan dan berakhlak mulia.

Apa yang dicita-citakan dan diusahakan Kartini kiranya bukanlah hal yang mudah. Masalah yang berkembang ternyata semakin kompleks dan mengglobal. Perihatian yang serius adalah jalan utama bagi adanya suatu pemecahan. Namun, sayang cita-cita dan usaha yang begitu mulia dan membutuhkan konstinuitas waktu yang relatif panjang itu diputuskan oleh usianya yang begitu pendek. Dia meninggal dunia diusia yang relatif muda, 25 tahun. Namun demikian, gairah hidup untuk maju yang dikibarkan Kartini dalam surat-suratnya itu tidak menyurutkan generasi sepanjang zaman untuk menelaah dan mengelaborasi lebih jauh untuk kemudian dijadikan konsep kearah masa depan yang lebih baik. Kepiawaian seorang kartini mengabadikan tanggal 21 April sebagai Hari Kartini yang diperingati setiap tahun sambil menyanyikan lagu “Ibu Kita kartini”.

Kartini melalui surat-suratnya yang terangkum dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang’’, yang diterjemahkan oleh Armijn Pane, salah seorang pelopor sastrawan pujangga baru – kepopulerannya bukan berarti telah banyak orang yang benar-benar mengetahui isi surat-suratnya tersebut. Kumpulan surat kartini pertama kali diterbitkan dengan judul Door Duisternis Tot Licht pada tahun 1911, yang disusun oleh JH. Abendanon, salah seorang sahabat pena Kartini yang pada saat itu menjabat Menteri/Direktur kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Pernah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh Agnes L. Symmers. Dan diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh empat bersaudara – termasuk Armijn Pane – dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”, Boeah Pikiran “yang diterbitkan oleh Balai Pustaka-Jakarta pada tahun 1922, sehingga pada tahun 1938 buku itu disusun laksana roman oleh Pane yang hanya memuat 87 surat Kartini dari sekian surat yang dimuat dalam bahasa Belanda dan dicetak sebanyak 11 kali. Sekarangpun buku itu telah diterbitkan dalam bahasa Jawa dan Sunda, bahkan telah dicetak secara berulang-ulang (Kompas, Sabtu 19 April 2003). Karena alasan itulah, terhadap kajian akan Kartini kiranya masih signifikan dibicarakan setiap kesempatan, khususnya yang berkaitan dengan masalah pendidikan.

Pada pembahasan ini kiranya menarik untuk ditelaah beberapa hal yang berkaitan dengan Kartini:

1. Potret Kartini sebagai sosok pribadi utuh yang dengan gigih memperjuangkan gerakan pendidikan di Indonesia dan kritik-kritiknya terhadap kebudayaan Jawa.

2. Cita-cita dan obsesi Kartini untuk memajukan dunia penidikan kaum perempuan yang terdistorsi dan terdiskriminasi oleh budaya patriarkhi, serta implikasi konseptual bagi perkembangan pendidikan selanjutnya.

3. Gagasan Kartini tentang idiologi pembahasan perempuan, dilihat dari persepktif Islam dan kesetaraan gender.